Setiap upacara kenegaraan di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, ada satu sosok yang hampir selalu tampak memimpin regunya—tenang, rapi, dan penuh wibawa. Ia adalah Nur Kasan, figur yang telah menjadi wajah kehadiran Pramuka dalam berbagai momen penting di Jawa Timur.
Meski usianya sudah menginjak kepala 6, namun tetap saja ia dipanggil Kak. Sebuah tradisi yang mengakar di keluarga besar Pramuka.
Malam itu, di sela-sela Musyawarah Daerah (Musda) Gerakan Pramuka Jawa Timur 2025 yang berlangsung di Hotel Mercure Surabaya, Selasa 9 Desember 2025, Kak Nur duduk santai namun tetap bersikap sigap khas seorang pembina. Senyumnya ramah ketika mulai berbagi kisah perjalanan panjangnya di dunia kepramukaan.
Benih Cinta Pramuka dari Bangunsari
“Sejak kelas satu SD saya sudah senang ikut Pramuka,” kenangnya.
Masa kecil Kak Nur di SDN Dupak IV Bangunsari, Surabaya, menjadi awal dari kecintaannya pada dunia pengabdian. Rasa ingin tahu yang besar dan kegemarannya bergaul mendorongnya untuk aktif mengikuti setiap kegiatan.
Kini, ia tinggal di Jalan Demak No. 381 Belakang, tak jauh dari tempat masa kecilnya bermain dan belajar tentang kedisiplinan.
Dari jenjang Siaga, ia naik ke Penggalang, kemudian Penegak, hingga akhirnya mantap menjadi Pembina. Prosesnya tidak instan. Berbagai ujian keterampilan dan tes kemampuan harus ia lalui sebelum namanya resmi tercatat sebagai anggota di Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jawa Timur.
“Waktu itu Kak Suroso, Kak Susi, dan Kak Toyo (almarhum) yang membimbing saya. Mereka berjasa sekali,” ujarnya dengan raut wajah penuh hormat.
Empat puluh tahun lebih mengabdi bukanlah hal mudah. Apa yang membuatnya bertahan?
Kak Nur menjawab pelan, “Ini panggilan jiwa.”
Musyawarah Daerah Kwarda Pramuka Jawa Timur di Hotel Mercure Surabaya (Foto: Martudji/Ketik.com)
Ia lalu mengutip penggalan sebuah hadits yang selalu menjadi pegangan hidupnya:
“Khoirunnas anfa’uhum linnas—sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Baginya, Pramuka adalah ruang untuk memberi manfaat, terutama dalam membentuk karakter generasi muda. “Kami tampilkan itu semua dengan niat ibadah, berharap ridho Allah,” tambahnya.
Lencana yang Menjadi Cerita Pengabdian
Di dadanya terpasang berbagai wing dan lencana. Ada Wing Pengabdian, Hutan Gunung, Pancawarsa, Dharma Bakti, dan lainnya. Setiap lencana menyimpan perjalanan panjang, penuh usaha dan keteladanan.
“Ini bukan kesombongan,” katanya sambil menunjuk lencana-lencana di dadanya, “tapi kebanggaan bahwa kami bisa memberi contoh, memberi semangat kepada adik-adik Pramuka Jawa Timur.”
Ia juga aktif dalam sejumlah kegiatan lain seperti promotor Gerak Jalan Surabaya–Mojokerto, tim pendakian, hingga aksi-aksi sosial kemanusiaan.
“Kurang lebih 35 tahun saya terlibat di setiap kegiatan di Gedung Negara Grahadi,” tuturnya.
Sebagai relawan bencana, ia sering terjun langsung tanpa menunggu fasilitas. “Meski tidak punya bensin, tetap jalan kalau dipanggil,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Kak Nur mengaku bersyukur mendapat dukungan penuh dari Kwarda Pramuka Jawa Timur dan dari Kak Arum Sabil, Ketua Kwarda.
“Hidup saya untuk ibadah, untuk Pramuka,” katanya mantap.
Di usia 63 tahun, semangatnya tetap menyala, seakan tak pernah menua—seperti api unggun yang terus berkobar menerangi jalan generasi berikutnya. (*)
Jurnalis: Martudji
Editor: Muhammad Faizin
